Pentingnya Mengetahui Status Tanah: Hindari Lahan Sawah Dilindungi (LSD) dalam Pengembangan Perumahan

Share :

Oleh: M. Aditya Prabowo

Dalam beberapa tahun terakhir, geliat pembangunan perumahan di berbagai daerah Indonesia semakin pesat. Namun, di balik antusiasme para pengembang properti, muncul berbagai kasus proyek mangkrak karena masalah legalitas lahan. Salah satu penyebab utama yang sering terabaikan adalah ketidaktahuan atau ketidakpedulian terhadap status tanah, khususnya apakah lahan tersebut termasuk dalam kategori Lahan Sawah Dilindungi (LSD) atau tidak.

Mengapa Hal Ini Penting?

Banyak developer beranggapan bahwa selama tanah masuk dalam zona kuning—yang secara umum diperuntukkan bagi perumahan—maka pengembangan sudah bisa dilakukan tanpa kendala. Padahal, zona kuning bukan satu-satunya indikator kelayakan lahan untuk pembangunan perumahan. Lahan yang berada di zona kuning tetapi juga ditetapkan sebagai LSD tetap tidak bisa dialihfungsikan, karena status LSD bersifat non-negosiasi dan merupakan bagian dari kebijakan nasional dalam menjaga ketahanan pangan.

Apa Itu Lahan Sawah Dilindungi (LSD)?

LSD adalah lahan sawah yang telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai bagian dari kawasan lindung pangan, berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2019 dan berbagai kebijakan turunannya. Tujuan dari penetapan LSD adalah untuk menjaga keberlanjutan produksi pangan nasional, serta memastikan bahwa konversi lahan tidak mengganggu ketahanan pangan di masa depan.

Setiap kabupaten dan kota memiliki peta LSD yang bisa diakses secara terbuka, namun sayangnya tidak semua developer memperhatikannya saat proses akuisisi lahan.

Risiko Mengabaikan Status LSD

Ketika developer membeli lahan yang ternyata termasuk dalam LSD, proses perizinan seperti Izin Lokasi, Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR), maupun IMB (sekarang PBG), akan ditolak oleh pemerintah. Akibatnya:

  • Proyek tidak bisa dilanjutkan.
  • Kerugian finansial sangat besar karena sudah terlanjur mengeluarkan dana untuk pembelian tanah dan biaya awal proyek.
  • Reputasi perusahaan tercoreng.
  • Hubungan dengan konsumen atau investor bisa memburuk.

Kesalahan Umum Developer

Banyak pengembang yang terlalu fokus pada “zona kuning” tanpa melakukan verifikasi menyeluruh terhadap status LSD. Padahal, proses due diligence dalam akuisisi lahan semestinya mencakup pengecekan terhadap:

  • Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
  • Rencana Detail Tata Ruang (RDTR)
  • Peta LSD dari Kementerian ATR/BPN
  • Status tanah di sistem OSS (Online Single Submission)

Solusi dan Langkah Preventif

  1. Lakukan pengecekan peta LSD melalui Kementerian ATR/BPN sebelum transaksi tanah.
  2. Konsultasikan dengan dinas tata ruang setempat agar tidak hanya mengandalkan informasi dari pemilik tanah atau broker.
  3. Gunakan jasa konsultan perizinan yang memahami regulasi terbaru.
  4. Pastikan bahwa lahan memiliki kesesuaian ruang yang lengkap dan tidak bertentangan dengan kebijakan lindung pangan.

Penutup

Sebagai developer properti, penting bagi kita untuk tidak hanya mengejar peluang pembangunan, tetapi juga mematuhi prinsip-prinsip tata ruang yang berkelanjutan. Mengetahui status lahan secara menyeluruh, termasuk apakah terkena Lahan Sawah Dilindungi atau tidak, adalah bagian dari tanggung jawab profesional. Jangan sampai proyek impian berubah menjadi beban finansial hanya karena kita luput memeriksa peta dan regulasi.