“Penjualan besar tanpa etika hanya akan membangun istana di atas pasir. Jika ingin bertahan, jadilah developer amanah.” – Aditya – Ketua Umum DEPRINDO
Di sebuah ruang rapat salah satu kantor bank nasional, suasana terasa cukup serius. Seorang pegawai senior dari divisi kredit properti membuka pembicaraan. Topik yang diangkat kali ini adalah perilaku sejumlah developer muda yang akhir-akhir ini menjadi sorotan pihak perbankan.
“Pak Ketua,” ujar pegawai bank tersebut, “kami menemukan kasus beberapa developer yang penjualannya luar biasa tinggi, tapi hampir seluruh kredit yang kami salurkan ke pembelinya berujung NPL (Non-Performing Loan). Parahnya lagi, developer ini bukan satu, tapi grup. Semuanya anak muda, energik, tapi… gaya bisnisnya kurang sehat. Bagaimana caranya agar mereka bertaubat, Pak? Supaya tidak lagi memakai cara-cara nakal?”
Latar Belakang Masalah
Kasus ini bukan sekadar soal macetnya pembayaran. Menurut catatan pihak bank, modus yang digunakan cukup cerdik namun berisiko tinggi. Unit-unit properti dipasarkan agresif, dengan iming-iming harga naik cepat atau bonus-bonus menggiurkan. Banyak konsumen membeli bukan untuk ditempati, melainkan untuk dijual kembali (flipping). Namun, ketika pasar melambat, kredit macet pun membengkak.
Bagi pihak perbankan, hal ini bukan hanya merugikan bank, tapi juga merusak ekosistem properti secara keseluruhan.
Menariknya, sebagian besar developer ini bukan anggota DEPRINDO dan bahkan belum tergabung di asosiasi mana pun. Akibatnya, mereka tidak mendapatkan pembinaan, kode etik, maupun pengawasan yang biasanya diberikan oleh asosiasi resmi.
Jawaban Ketua Umum DEPRINDO
Ketua Umum DPP DEPRINDO, dengan tenang menanggapi:
“Pertama, saya ingin mengingatkan bahwa menjadi developer bukan hanya soal membangun gedung, tapi membangun kepercayaan. Kalau fondasi bisnisnya rapuh, cepat atau lambat akan runtuh. Anak-anak muda ini sebenarnya punya energi dan kreativitas besar, tapi arah mereka perlu dibenahi.
Cara ‘bertaubat’ yang saya sarankan ada beberapa langkah:
1. Edukasi & Pendampingan Bisnis – Mereka perlu memahami bahwa penjualan yang sehat adalah yang diikuti dengan kualitas produk, layanan purna jual yang baik, dan kejelasan legalitas. DEPRINDO siap membuat program mentoring khusus agar mereka belajar etika bisnis properti.
2. Perbaikan Mindset – Tujuan utama bukan sekadar cepat kaya, tapi membangun reputasi jangka panjang. Kalau konsumen puas dan bank percaya, mereka akan mendapatkan repeat buyer dan akses pendanaan lebih mudah.
3. Transparansi dengan Bank – Jangan memanipulasi data penjualan atau kemampuan bayar konsumen. Bank adalah mitra, bukan sekadar sumber dana.
4. Penguatan Komitmen Moral – Dalam Islam, membangun properti juga termasuk amal jika diniatkan memberi manfaat bagi orang lain. Mengkhianati konsumen sama saja mengkhianati kepercayaan Allah.
5. Bergabung dalam Asosiasi – Ini penting. Tanpa naungan asosiasi, mereka berjalan sendiri tanpa rambu. Asosiasi seperti DEPRINDO memiliki peran membina, mengawasi, dan melindungi developer. Kami bisa menjadi jembatan antara developer, perbankan, dan konsumen.”
Ketua Umum juga menegaskan, DEPRINDO akan mengajak pihak bank dan developer muda tersebut duduk bersama. Bukan untuk saling menyalahkan, tetapi untuk membangun mekanisme pencegahan, seperti screening ketat calon pembeli, skema pembayaran yang realistis, dan sistem monitoring proyek yang lebih transparan.
Penutup
Diskusi tersebut berakhir dengan kesepakatan awal: perlu ada langkah bersama untuk membina para developer muda yang potensial namun masih “liar” dalam praktik bisnisnya. Pegawai bank pun menyambut baik usulan Ketua Umum, berharap ke depan hubungan antara bank, developer, dan konsumen bisa lebih sehat.
Karena pada akhirnya, properti bukan sekadar soal batu bata dan semen—melainkan tentang membangun kepercayaan, reputasi, dan masa depan yang lebih kokoh. Dan di sinilah, peran asosiasi menjadi benteng awal untuk memastikan semua pihak berjalan di jalur yang benar.