Oleh: M Aditya Prabowo
Dalam dunia bisnis properti, kemitraan antara developer dan investor adalah elemen krusial yang bisa menjadi pendorong kesuksesan atau justru sumber konflik berkepanjangan. Sayangnya, masih banyak developer properti yang belum memahami pentingnya membangun ekspektasi realistis kepada investor terutama dalam hal janji keuntungan atau Return on Investment (ROI).
Janji Manis yang Berujung Konflik
Dalam praktiknya, tidak sedikit developer yang berani menjanjikan keuntungan tinggi dalam waktu singkat, semata untuk menarik minat investor. Mereka menjual mimpi tentang Break Even Point (BEP) dalam 6 bulan atau ROI 20% per tahun tanpa perhitungan yang matang. Janji ini seringkali tidak didasarkan pada studi kelayakan (feasibility study) yang akurat, melainkan hanya strategi pemasaran agresif.
Ketika proyek berjalan tidak sesuai rencana—entah karena keterlambatan konstruksi, stagnasi pasar, overpricing, atau ketidaksiapan manajemen—janji tersebut pun tak mampu ditepati. Investor merasa tertipu, kehilangan kepercayaan, dan konflik mulai muncul. Banyak kasus berakhir di meja hukum, mencoreng reputasi developer dan menyulitkan proyek-proyek masa depan.
Kesalahan Fatal: Salah Hitung ROI
Kesalahan utama yang sering terjadi adalah perhitungan ROI yang terlalu optimistis, bahkan manipulatif. Banyak developer tidak mempertimbangkan biaya tak terduga, risiko pasar, atau faktor eksternal seperti perubahan regulasi dan kondisi ekonomi makro.
ROI yang sehat tidak hanya dihitung dari selisih harga beli dan jual, tetapi juga harus memperhitungkan:
- Biaya operasional: pajak, perizinan, perawatan, promosi, manajemen proyek.
- Waktu penjualan: lamanya unit bisa terserap pasar.
- Kondisi pasar aktual: apakah ada demand riil atau hanya ilusi permintaan sesaat.
- Risiko pasar: fluktuasi harga bahan bangunan, suku bunga KPR, regulasi tata ruang.
Ketika variabel-variabel ini tidak diperhitungkan dengan seksama, ROI yang dijanjikan hanyalah angan-angan.
Membangun Manajemen Bisnis Developer yang Sehat
Agar terhindar dari jebakan konflik dengan investor, setiap developer perlu membangun manajemen bisnis yang akuntabel, realistis, dan berbasis data. Beberapa poin penting yang harus diperhatikan:
- Feasibility Study Wajib
Sebelum menjual proyek atau menggandeng investor, lakukan studi kelayakan yang komprehensif. Libatkan konsultan profesional jika perlu. Ini bukan biaya, tapi investasi untuk mencegah kerugian lebih besar. - Transparansi Kepada Investor
Sampaikan potensi keuntungan secara terbuka, tetapi juga paparkan risikonya. Investor yang cerdas akan lebih menghargai kejujuran dibanding janji palsu. - Pengelolaan Cashflow yang Disiplin
Banyak developer terjebak pada likuiditas yang lemah karena terlalu mengandalkan uang investor untuk menambal proyek. Buat proyeksi keuangan jangka panjang yang realistis dan siapkan buffer dana. - Timeline dan Target yang Rasional
Hindari menetapkan deadline yang terlalu cepat hanya karena tekanan pemasaran. Lebih baik sedikit lambat tapi pasti, daripada cepat namun gagal memenuhi janji. - Legalitas dan Struktur Investasi yang Jelas
Semua skema investasi harus dibingkai dalam perjanjian hukum yang jelas. Hal ini akan melindungi kedua belah pihak dan memberi kepastian.
Kesimpulan: Janji Harus Berdasar Data
Menjadi developer bukan hanya soal membangun properti, tetapi juga membangun kepercayaan. Ketika kepercayaan rusak karena janji yang tidak ditepati, akan sulit untuk bangkit kembali. Oleh karena itu, penting bagi setiap developer untuk lebih cermat dalam menghitung ROI, menetapkan target BEP, dan menjalin hubungan profesional dengan investor.
Bisnis properti bukan hanya soal menjual proyek, tapi membangun sistem manajemen yang solid dan kredibel. Itulah yang akan membedakan developer yang bertahan, dengan yang sekadar numpang lewat.