Oleh: M. Aditya Prabowo
“Saya kira semua clear karena di BPN tidak ada jejak hak tanggungan. Ternyata masalahnya di tempat yang tidak terlihat.”
— Seorang developer muda
Di tengah geliat pembangunan properti di kawasan urban pinggiran, sebuah kolaborasi usaha antara dua developer sempat menjadi contoh ideal sinergi antara pengalaman dan semangat muda. Kerja Sama Operasi (KSO) antara developer senior (Developer A) dan developer muda (Developer B) itu telah berjalan selama beberapa waktu. Proyek pun berkembang, rumah-rumah berdiri, konsumen terus berdatangan, dan penjualan melaju stabil.
Namun, siapa sangka bahwa di balik semua kelancaran itu, tersimpan benih konflik serius yang akan muncul di titik paling krusial: saat pembiayaan ke bank hendak dilakukan secara formal.
Awal Keyakinan: Tidak Ada Jejak Hak Tanggungan
Sebagai bentuk kehati-hatian, Developer B — yang mengambil alih sebagian besar kegiatan operasional dan penjualan dalam skema KSO — melakukan pengecekan sertifikat di Badan Pertanahan Nasional (BPN). Hasilnya bersih. Tidak terdaftar adanya Hak Tanggungan pada lahan-lahan yang sedang dikembangkan. Maka, proses pembangunan dilanjutkan dengan percaya diri.
Setelah proyek mencapai tahap yang cukup matang, Developer B memutuskan mengakadkan ke bank nasional agar konsumen bisa memperoleh pembiayaan. Beberapa akad pun berhasil dilakukan. Namun masalah mencuat saat pihak bank meminta fisik sertifikat untuk kebutuhan verifikasi lanjutan.
Fakta Tersembunyi: Sertifikat Diagunkan ke BPR
Ternyata, sertifikat-sertifikat yang bersangkutan telah diagunkan sebelumnya oleh Developer A ke sebuah Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Fakta ini sama sekali tidak terlihat dari pengecekan di BPN karena agunan BPR tidak selalu langsung terdaftar sebagai Hak Tanggungan, terutama jika belum disempurnakan secara prosedural.
Ketika bank tidak bisa mendapatkan fisik sertifikat dari Developer B, mereka menghentikan sementara proses akad lanjutan, dan ini menimbulkan pertanyaan serta keresahan dari para konsumen. Developer B pun mencari Developer A, namun justru terjadi tarik menarik kepentingan, bahkan tensi memanas. Developer A belum bisa atau belum mau melepas fisik sertifikat yang masih berada di BPR, sementara Developer B merasa terjebak dalam situasi yang tidak ia ciptakan.
Jalan Tengah: Solusi untuk Keluar dari Kebuntuan
Dalam situasi seperti ini, langkah-langkah strategis perlu segera diambil untuk mencegah kerugian lebih besar bagi konsumen, nama baik perusahaan, dan keberlanjutan proyek.
Berikut ini langkah-langkah konkret yang dapat ditempuh Developer B:
1. Mediasi Profesional dengan Pihak Ketiga
Libatkan mediator independen seperti notaris senior atau lembaga mediasi properti profesional. Tujuannya adalah menghadirkan komunikasi netral yang memfasilitasi solusi, bukan konfrontasi.
2. Transparansi Dokumen
Developer B perlu meminta Developer A untuk membuka seluruh dokumen perjanjian dengan BPR, termasuk plafon pinjaman, status cicilan, dan skema pengembalian. Ini penting untuk menghitung seberapa besar beban yang masih harus dilunasi untuk bisa mengambil kembali sertifikat.
3. Skema Pelunasan Bersama
Jika memungkinkan, Developer B bisa menawarkan skema pelunasan bertahap atas pinjaman Developer A ke BPR, dengan jaminan balik nama sertifikat setelah pelunasan, atau mengalihkan pinjaman atas nama badan hukum baru hasil KSO.
4. Revisi Perjanjian KSO
Jika dalam perjanjian awal belum ada klausul mengenai status pembebanan jaminan atau ketentuan atas agunan, maka perjanjian KSO perlu direvisi agar kejadian serupa tidak berulang.
5. Perlindungan Konsumen
Developer B juga sebaiknya menyusun komunikasi resmi kepada konsumen untuk menjaga kepercayaan. Sertakan penjelasan kronologis dan upaya penyelesaian yang sedang berlangsung, tanpa menjatuhkan pihak manapun.
6. Kolaborasi dengan Bank
Libatkan bank dalam diskusi sebagai mitra solusi, bukan hanya kreditur. Bisa jadi bank bersedia membuat skema jembatan (bridge financing) jika developer menunjukkan keseriusan dalam menyelesaikan konflik sertifikat.
Penutup: Pelajaran untuk Developer Muda
Kepada saya, developer muda ini menyampaikan satu pesan penting: “Sebelum melangkah jauh, jangan hanya percaya data digital atau dokumen formal. Tanyakan semua yang tidak tertulis — terutama tentang utang.”
Kisah ini menyadarkan banyak pelaku industri bahwa kerja sama tidak hanya soal berbagi untung, tetapi juga berbagi transparansi dan risiko. Semoga dengan itikad baik dari kedua belah pihak, jalan damai bisa ditempuh — dan proyek bisa kembali berjalan demi kepercayaan konsumen yang sudah terbangun.