Nasi Sudah Jadi Bubur: Kisah Sebuah Kebangkitan dari Proyek Mangkrak”Oleh: Ketua Umum Asosiasi Developer Properti

Share :

Saya adalah seorang Ketua Umum Asosiasi Developer Properti. Dalam peran ini, saya sering menerima berbagai keluhan dari para anggota, mulai dari kendala teknis hingga krisis penjualan. Namun, suatu ketika, ada satu telepon yang begitu membekas dalam ingatan saya.

Seorang anggota, seorang developer yang dulunya cukup aktif dan penuh semangat, menghubungi saya dengan suara lirih dan nyaris putus asa. Proyek perumahannya sudah berjalan empat tahun, tapi belum juga menemukan titik terang. Penjualan nyaris nihil. Cash flow proyek terkuras habis. Hutang mulai menjalar ke berbagai pihak material, vendor, bahkan hingga ke orang terdekat. Ia telah mencoba segalanya: ganti tim pemasaran berkali-kali, ikut berbagai pelatihan properti, bahkan mempekerjakan konsultan. Namun, semua terasa sia-sia.

Saya tidak bisa tinggal diam. Saya memutuskan untuk datang langsung ke proyek tersebut. Bukan sekali, bukan dua kali tapi lima kali saya kunjungi. Bahkan, saya sempat menginap di lokasi proyek. Saya ingin melihat langsung denyut kehidupan yang masih tersisa, kalaupun ada. Kami berdiskusi siang malam. Kami coba segala metode, dari A sampai Z. Dari strategi diskon besar-besaran, paket bundling, relokasi pasar, hingga kolaborasi KPR non-bank. Tapi tetap saja, seperti ada tembok tebal yang menghalangi.

Sampai suatu ketika, selepas sahur, saya duduk di teras salah satu unit rumah yang tak kunjung laku itu. Udara pagi itu dingin dan sunyi. Saya menatap bangunan yang berdiri diam, seperti menatap harapan yang tertinggal. Lalu, muncullah sebuah ide sederhana sebuah analogi yang menampar kesadaran saya:

“Nasi sudah jadi bubur. Lantas, mau dibuang atau diolah menjadi bubur yang enak dan mahal?”

Itulah titik baliknya. Kami berhenti memaksakan diri menjadi seperti developer sukses lainnya. Kami mulai menerima kenyataan bahwa proyek ini sudah tidak bisa lagi dijual sebagai rumah baru biasa. Maka kami ubah pendekatannya. Kami ubah konsepnya. Kami buatkan narasi baru, mengangkat sisi unik dan keterbatasannya sebagai daya jual, bukan sebagai kelemahan.

Saya menyusun ulang strategi. Kami buat konsep “perumahan survival”, dengan pendekatan komunitas tertutup yang ramah lingkungan dan hemat biaya hidup. Target pasarnya bergeser ke keluarga muda yang mencari harga miring dengan lingkungan sehat dan aman. Kami buat program barter, cicilan tanpa bunga, dan komunitas gotong royong. Saya bantu hadirkan tim marketing yang bukan hanya menjual, tapi juga membangun harapan. Kami buat event komunitas, promosi sosial, hingga mengundang influencer lokal.

Perlahan, kehidupan mulai terasa. Satu demi satu orang mulai datang, menanyakan unit. Lalu akad pertama terjadi. Lalu yang kedua, ketiga, dan seterusnya. Saya masih ingat hari ketika developer itu menelepon saya dengan suara bergetar karena haru:
“Pak, akad hari ini sudah tutup cluster.”

Proyek itu akhirnya bisa tutup buku—bukan dengan kemewahan, tapi dengan kemenangan dari keterpurukan.

Lantas, di mana kesalahannya?

Kesalahannya bukan hanya pada market yang lesu atau harga yang salah. Tapi lebih pada keras kepala mempertahankan pola lama, dan tidak segera melihat bahwa nasi sudah jadi bubur. Kadang, kita terlalu sibuk mengulang cara yang tidak berhasil, dan lupa bahwa kreativitas serta keberanian untuk mengubah arah bisa jadi satu-satunya penyelamat.

Dan di situlah peran asosiasi hadir. Bukan hanya untuk mengurus administrasi, tapi untuk hadir secara nyata, memeluk kegagalan, dan membantu menumbuhkan harapan kembali.

Hari itu saya belajar satu hal:
Proyek bisa mangkrak. Tapi mimpi tidak boleh ikut mati.